Selasa, 13 Januari 2009

Masalah Masalah korupsi Yang Tak Selesai

Korupsi dan penyuapan kiranya telah menjadi trend di Indonesia dalam beberapa dasawarsa ini. Tengok saja kasus-kasus yang bergentayangan di media massa. Individu yaang terlibat dalam kasus inipun adalah para birokrat, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum, dari pusat sampai daerah.

Bukan main kasus korupsi dan penyuapan ini. Dalam data yang dikeluarkan oleh ICW (Indonesian Coruption Watch) sebuah lembaga independen pemantau korupsi, untuk tahun 2008, ada 68 kasus yang ditangani KPK yang melibatkan aparatur negara, ini diluar kasus yang ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian, meliputi pusat sampai daerah.

Kasus seperti ini belum termasuk data kasus tahun 2005, 2006, 2007 atau bahkan data tahun 2009 nanti misalnya. Tentu ini merupakan akumulasi kasus yang bikin geleng-geleng kepala. Kenapa sampai perilaku korup susah dihilangkan? Sejauh manakah aparat penegak hukum mengatasinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua menjawabnya. Kita sekarang bukan dalam posisi untuk mengkerdilkan atau mencela ataupun tidak mendukung institusi-institusi terkait dalam pemberantasan korupsi. Namun sampai sekarang kasus-kasus korupsi yang sangat besar merugikan negara, belum sepenuhnya diusut tuntas.

Dan untuk itulah kita belum dapat mememberikan apresiasi penuh terhadap institusi terkait. Apalagi pernah terjadi kejadian yang mencoreng dunia hukum kita, dimana aparat penegak hukum (Urip Tri Gunawan) menjadi tersangka dalam kasus suap untuk membebaskan perkara BLBI yang sangat merugikan negara. Dan disinyalir, membawa nama lembaga kejaksaan.

Berbahayanya Korupsi
Kejahatan paling kejam dalam kacamata penulis adalah menjarah uang rakyat ditengah pasang-surut sebuah monolog kehidupan rakyat jelata. Namun pasang surut ini penulis batasi dalam konteks kehidupan ekonomi saja. Miris tentunya jika kita membayangkan besar uang yang dijarah dan kerugian yang ditimbulkan akibat kasus-kasus tak bermoral ini.

Uang hasil korupsi dan penyelewengan jika menjadin sebuah akumulasi modal, tentu akan sangat bermanfaat bagi pengembangan masyarakat miskin (modal usaha, asuransi kesehatan, akses kesehatan murah, sekolah gratis, pelatihan ketrampilan dll). Ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang selalu berulang seperti ini, kita pasti mengatakan bahwa korupsi dan penyuapan telah menjadi budaya pada setiap lini kehidupan bernegara (eksekutif, legislatif, yudikatif dari pusat sampai daerah).

Penulis tertarik dengan argumen Rocky Gerung (dosen filsafat UI) dalam artikelnya beberapa waktu lalu. Dia mengatakan bahwa gejala korupsi telah mengikis batas prinsipil moral dan garis antara hitam dan putih. Perilaku ini mengakar kuat, sampai-sampai menurut Gerung, ini cuma masalah yang sial dan beruntung. Artinya bahwa korupsi dan penyuapan telah menjadi sebuah pekerjaan.

Tetapi argumen Gerung ada yang kukuh dan ada yang tidak sepenuhnya kukuh, bagi penulis ada pencampur-adukan realitas dan kondisi yang ada. Artinya masalah sial dan beruntung ini yang bagi penulis, argumennya kabur. Masih banyak aparatur negara yang mengabdi dengan sepenuh hati tanpa banyak diekspos media. Jadi atas dasar apa Rocky Gerung mengeneralisasi kesimpulan?

Untuk masalah mengikis batas prinsipil moral dan garis antara hitam dan putih, kiranya semua sepakat bahwa kejahatan akan meleburkan hitam dan putih. Dan disinilah argumen Gerung bisa diterima. Pertanyaan yang mendasar adalah apa yang membuat kejahatan itu timbul?

Dalam hal ini kita patut menyimak apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang timbulnya kondisi ini karena adanya fasilitas. Penulis menyebutnya paradoks fasilitas. Contoh ketika seseorang mendapat jabatan (fasilitas), dia dihadapkan pada kondisi keserba mungkinan. Disinilah letak pertanyaan mendasarnya. Dan tentu semua tergantung pada seberapa besar keteguhan hati orang yang menjabat tersebut.

Fasilitas seharusnya dipayungi oleh hukum supremasi hukum yang ketat. Lihatlah China yang pernah menduduki negara papan atas terkorup di dunia, mereka memproduksi hukum yang ketat untuk kasus korupsi dan penyelewengan. Tak tanggung-tanggung ganjaran hukuman mati bagi para pelaku, membuat China membalikan ranking negara terkorup menjadi yang lebih bersih penyelenggaraan negaranya.

Belajar Dari Kesederhanaan
Dalam pemberantasan kasus korupsi di Indonesia, walaupun tidak secara eksplisit, rakyat mencium bahwa ada aroma ”persaingan” dalam penegakan hukumnya, antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Tentu aroma persaingan ini harus kita sambut dengan tangan terbuka apabila rasa ”persaingan” menjadi sebuah pemacu positif untuk berlomba dalam penegakan hukum yang lebih baik.

Namun apabila ”persaingan” ini lebih mengarah kepada kecemburuan antar institusi terkait, dimana salah satunya dalam biaya operasional penanganan perkasus antara masing-masing institusi sangat berbeda, belum lagi fasilitas penunjang yang diterima masing-masing institusi dalam penanganan kasus berbeda-beda.

Melihat kecenderungan seperti ini kita hanya bisa menyesalkan sikap semacam itu. Apalagi dengan menjadikan alasan biaya dan fasilitas sebagai salah satu sumber penghambat pekerjaan. Ini harus menjadi perhatian serius kita semua (rakyat) untuk mengawasi kondisi yang seperti ini, agar semua mekanisme yang berlandaskan undang-undang di negeri ini benar-benar terwujud.

Saya kemudian berpikir bahwa mungkin terlalu terkesan simplistis (simpel), jika kita menilai persaingan institusi-institusi tersebut dalam masalah biaya operasional penanganan perkara dan fasilitas semata, tanpa melihat catatan panjang apa yang pernah dilakukan oleh institusi-institusi tersebut dan hasil yang pernah dicapai.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa kita harus mulai dari yang sederhana apabila kita ingin sukses. Namun kesederhanaan disini bukan tanpa kekosongan hampa. Tetapi kesederhanaan yang berilmu. Jadi disatu sisi, sebenarnya tak terlalu simplistis juga, jika kita menilai institusi-institusi tersebut dengan kemungkinan penilaian kita. Toh ini juga dapat menjadi masukan buat mereka.

Lalu apa inti tulisan ini. Penulis dalam tulisan ini hanya sekedar menghimbau untuk kita dapat mulai dengan kesederhanaan dalam menghadapi bahaya yang akan mengancam.


Referensi Tulisan
Artikel Bebas Dari Penulis Sendiri...