Selasa, 09 Desember 2008

Sebuah Perenungan Dari Sikap Golput

Sebuah Prolog
Demokrasi menurut cendikiawan DR. Muhammmad Natsir yaitu sebuah konsep yang tidak lepas dari bahaya yang tekandung didalamnya. Karena dari banyak perjalanan sejarah, demokrasi telah membuktikan kekurangannya. Sedangkan demokrasi menurut budayawan Prof. Dr. Frans Magnis Suseno adalah sebuah konsep yang sangat brilian dan akomodatif (sangat terbuka) dalam kultur yang mejemuk (aneka ragam).

Paradoks memang, pertentangan pemikiran dari dua tokoh Indonesia kontemporer ini. Sedangkan konsep demokrasi sendiri bukan lagi barang asing di Indonesia. Demokrasi sendiri sudah di terapkan pada zaman baheula (dulu) yaitu pada awal kemerdekaan. Ada demokrasi pancasila, demokrasi kerakyatan, demokrasi terpimpin dan sekarang yang dianut adalah demokrasi “keblinger”.

Dalam jangka beberapa bulan kedepan seluruh rakyat Indonesia baik dari kalangan elite, simpatisan, maupun massa akar rumput (gross root) partai, akan menghadapi “pesta” demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat.

Pemilu legislatif merupakan “tiket” untuk parpol-parpol melangkah dalam pilpres dengan mengusung calon yang di unggulkan. Tentunya jika parpol-parpol tersebut meraih dukungan suara 30% dari rakyat atau koalisi dari beberapa parpol yang bisa mencapai angka itu.

Banyak sekali ekspektasi/ harapan dari masyrakat pada setiap Pemilu berlangsung. Harapan itulah yang dilihat para politikus sebagai sebuah cela untuk membawa politisi yang bersangkutan ke dalam “kawah candrimurka”, demi memperjuangkan kepentingan rakyat atau sebaliknya. Masa kampanye yang ditetapkan oleh KPU bagi Parpol-parpol yaitu 9 bulan, adalah waktu yang sangat melelahkan moril, materi, dan mulut tentunya.


Fenomena golput
Setiap pilihan politik rakyat sangat dijamin dalam konstitusi dasar 1945. pilihan rakyat adalah ekspresi diri. Golput sendiri termasuk pilihan politik dan merupakan kekuatan yang menjadi perhatian serius semua kalangan ketika genderang perang kampanye mulai ditabu.

Berbagai diskusi tentang golput pun makin populer. Apakah golput adalah sebuah pilihan bijaksana, ataukah sebuah pilihan frustasi?
Menurut guru besar UGM Prof. Dr. Dawan Rahardjo, pilihan politik adalah sebuah perenungan individu untuk eksistensi diri. Berangkat dari hal ini golput merupakan pernyataan sikap yang bebas dan menjadi pesan moral untuk menggugat persoalan bangsa.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menggunakan hak politik (golput) merupakan sisi lain dari pembelajaran politik. Seharusnya pencitraan terhadap golput sebagai sebuah tindakan frustasi harusnya dapat ditinggalkan dengan berpikiran yang lebih objektif.

Apakah dengan menggunakan hak politik persoalan bangsa akan selesai?

Penulis tidak menuduh bahwa orang-orang “golongan merah”, “golongan hijau”, “golongan kuning”, atau “golongan hitam” sekalipun tidak objektif, tetapi permasalahan bangsa lebih tepat dihadapi dengan generalisasi perbedaan, bukan dengan mengerucutkan/mempertajam perbedaan. penulis sendiri juga tidak menjustifikasi (membenarkan) bahwa golput adalah langkah yang paling benar saat ini. Tapi paling tidak golput dapat diterima sebagai sebuah khazanah dalam iklim demokrasi kekiniaan.

Anggapan bahwa golput adalah tindakan sia-sia dan tidak berinvestasi terhadap kemajuan bangsa sangatlah disesalkan. apa dasar anggapan tersebut?

Investasi terhadap bangsa dan negara esensinya bukan hanya memilih pemimpin yang merupakan hak politik, tetapi ada yang tidak dicermati oleh kelompok penentang golput yaitu membayar pajak, menyekolahkan anak- anak, menjaga ketertiban, keamanan, dan yang utama mempunyai rasa cinta tanah air adalah esensi yang lain dari investasi kemajuan bangsa.

Tapi sekali lagi ini tak menjadi tinjauan empiris dari kelompok itu.
Perlu diingat bahwa pemilu merupakan esensi yang kecil dari demokrasi, dan masih banyak esensi lain dari demokrasi yang sangat serius untuk di kawal prosesnya.


Demokrasi yang mati di parpol?

Partai politik menjadi penemuan yang sangat penting di bidang politik dalam era modern. Menurut Prof. Dr. Dawam Rahardjo, partai politik merupakan institusi multi fungsi yang sangat kompleks dalam perspektif kepentingan. masing-masing Parpol mempunyai aturan-aturan berbeda dalam internal parpol, tergantung ideologi dan kepentingannya.

Sedangkan definisi parpol menurut Prof. Miriam Budiardjo yaitu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Dan tujuan dari kelompok ini untuk merebut kekuasaan politik untuk melaksanakan programnya.

Dari dua pengertian diatas, kita dapat menarik benang merah (keterkaitan) yang paling mendasar yaitu kepentingan, dan kekuasaan. Namun yang menjadi persoalan serius adalah apakah parpol-parpol itu menjunjung tinggi demokrasi, atau sebaliknya melakukan kebohongan publik?

Mekanisme suara terbanyak, perekrutan caleg dan penetapan nomor urut merupakan persoalan internal yang berurat-akar kepentingan. Doktrinisasi tujuan dan kepentingan partai dalam perekrutan calon anggota adalah sebuah harga mati bagi eksistensi partai, namun adakah kepentingan soal rakyat yang doktrin partai juga?

Ketika banyak bermunculan artis dan anak petinggi partai mencalonkan diri mungkinkah partai mengalami pembusukan demokrasi, ataukah masih adanya hegemoni dan oligarki di parpol-parpol di Indonesia. Kita tidak tahu persis apa alasannya, tetapi parpol punya seribu cara untuk menjawabnya.

Bagaikan Jamur di musim hujan, pepatah ini kiranya tepat untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di dunia politik akhir-akhir ini. Artis dan anak pejabat berlomba-lomba untuk duduk di senayan. Alasan yang pakai karena merasa terpanggil untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.

Memang benar bila dikotomi tehadap artis maupun anak pejabat yang masuk dalam dunia politik atau menjadi calon legislatif maupun eksekutif harus disingkirkan. Tapi tidak ada jaminan bahwa apakah mereka mendapat hak politik yang sama dalam partai dengan kader-kader lain yang bukan anak pejabat. Atau malah diistimewakan.

Rakyat pun tidak tahu kapasitas intelektual, integritas, dan sejauh mana visi mereka dalam mengatasi tumpukan persoalan bangsa. Pasifnya partisipasi masyarakat dan masa begonya parpol dalam rencana politiknya, akan semakin meniadakan pendidikan politik yang baik.

Bukankah ini akan mempersempit karier dari kader potensial yang mempunyai kapasitas sebagai politisi berhati nurani.
Persoalan berdemokrasi di Indonesia memang cukup pelik dan rumit, tetapi jika hal-hal kecil saja dibuat rumit, maka sebenarnya itu pertanda bahwa demokrasi kita telah menjelma menjadi demokrasi kuburan. Wallahuallam......

Epilog
Kehidupan yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia adalah terwujudnya stabilitas ekonomi, keamanan, terciptanya lapangan kerja, dan kebebasan berpendapat.
Terlalu banyak kesemerawutan dalam setiap lini Kehidupan di Negara tercinta ini, Hingga terlalu muluk-muluk jika rakyat terlalu banyak berharap. Semoga para founding father Indonesia dapat tersenyum melihat kita bangsa ini dari SURGA. Semoga......




Referensi Tulisan
M. Fadjroel, Rahman. Golput Pemenang Pemilu. Kompas, Selasa 7/01/2004. hlm. 4.
Miriam, Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik (revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Mujani, Syaiful. Selera Politik Kaum Pinggiran.Republika, rabu 7/10/2007. hlm. 7
Rahardjo, Dawan. Pluralisme Politik, Pluralisme Agama. Jogjakarta: Insight, 2002.

Jumat, 05 Desember 2008

Merindukan Tuan Muhammad Natsir (Tokoh Indonesia Yang Mendunia Dengan Keluhuran Budi)

Muhammad Natsir, siapa yang kenal beliau? tentunya ada yang kenal maupun ada yang tidak. Karena kenal-mengenal adalah sebuah bentuk relatif dari yang ada pada manusia.
Bagi yang mengenal beliau dan sangat tertarik pada pemikirannya, tentu merasakan betapa segar dan relevannya pemikiran-pemikiran M. Natsir dalam konteks bernegara maupun agama.

Namun bagi yang belum tahu atau sekedar mendengar namanya, tentu diharapkan dapat menghargai beliau sebagai seorang pahlawan. bukankah bangsa yang besar adalah menghargai jasa para pahlawannya? Tahukah jasanaya, dan pandangan beberapa tokoh terahdap beliau.

Tulisan ini hanya sedikit mencoba mendeskripsikan jejak beliau yang mendunia, mohoon maaf bila ada ketidak validan data dan kurang mengangkat pemikiran beliau, mengingat tulisan ini mengalami keterbatasan data.

Bagi yang merasa tulisan ini bernada tendensius dan mengabaikan peran tokoh yang lain, silakan..!!! karena sudut pandang seseorang berbeda, namun perlu ditegaskan bahwa tulisan ini menampilkan sosok dan jejak tentang tuan Natsir, dan silakan menginterpretasikan tulisan ini sendiri.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Natsir dan bergelar minang Dato Sinaro Panjang (Alahan Panjang, Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908–Jakarta, 6 Februari 1993).
Merupakan tokoh Indonesia yang melegenda. Kontribusinya terhadap bangsa dan negara umumnya dan agama Islam khususnya merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.

Natsir adalah seorang yang jujur, sopan, halus tutur katanya, penyayang, dan pembimbing bagi setiap orang yang mengenalnya. Perjuangan dan kerja keras beliau membangun negeri ini sungguh sangat berharga bagi kelangsungan bernegara dan lapangan dakwah Indonesia.(maaf belum habis ditulis)

Rabu, 03 Desember 2008

Mahasiswa Intelektual Kritis, Idealis, Romantis.

Orang yang terpelajar (Mahasiswa) harus berpikir adil sejak dari pemikiran, apalagi dengan perbuatan. (Pramoedya Ananta Toer)


Kutipan tulisan diatas diambil dari bukunya yang berjudul BUMI MANUSIA, yang maknanya kita lihat masih sangat relevan (berlaku) pada zaman sekarang. Pramoedya sadar betul, bahwa kaum-kaum terpelajar (mahasiswa) mempunyai kekuatan yang sangat besar dan mempunyai spektrum (daya ledak) yang luas, dan kuat.

Kekuatan yang bukan hanya mampu meruntuhkan tetapi juga dapat membangun kembali tatanan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan cara pandang (paradigma) masyarakat. Bahkan sangup sampai pada hal-hal kecil sekalipun, dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tanpa kekuatan ini, maka perwujudan nilai-nilai demokrasi, hak asasi, kebebasan berpendapat akan menjadi sebuah khayalan bagi rakyat kecil.

Kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya, bukan seperti monolog (karya tunggal) seorang sutradara teater yang biasa dipentaskan tanpa memberikan kewenangan penonton untuk melakukan kritik, tapi seperti sebuah arena diskusi yang permisif, menerima, dan mempertimbangkan semua gagasan-gagasan yang di ”muntahkan” dari forum itu. Ini akan memperlihatkan proses dinamisasi (kelenturan) dan relevansi gagasan.

Mahasiswa yang semestinya menjadi kontrol sosial dan politik, atau meminjam istilah Usman Hamid yang kondinator kontras, bahwa mahasiswa adalah ”anjing penjaga” yang melindungi rakyat dari kebijakan pemerintah yang salah, harus menyadari potensi dan kelebihan dari kekuatan yang dimiliki.

Dalam hal ini, bagaimana kekuatan yang menjadi andalan kaum-kaum intelektual terpelajar itu, menjadi cambuk bagi penyeleggaraan negara. Power ini pun jangan sampai disusupi gerakan tertentu yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingannya. Mereka seharusnya waspada terhadap fenomena semacam ini, mengingat perjalanan bangsa indonesia, fenomena itu sudah sangat nyata.

Paradoks Mahasiswa
Gerakan mahasiswa terjadi dilatar-belakangi atas dasar ketimpangan, ketidakadilan, kebohongan dan kejahatan yang terjadi dari kebijakan-kebijakan penyelengara negara yang melanggar aturan. Sebab menurut pengamat politik UI Arbi Sanit, lapangan politik Indonesia telah krisis moral, krisis nilai filosofis, krisis norma dan pelanggaran hukum.

Perlu ada suatu oase dalam padang pasir untuk menyegarkan dan membawa semangat baru orang yg berada didaerah itu. Itulah sebuah posisi mahasiswa.

Sejarah perpolitikan di Indonesia sering di ramaikan dengan aksi-aksi dan demonstrasi kaum intelektual yang membawa aspirasi rakyat. Ini menandakan kesadaran bersama yang muncul dari kawan-kawan mahasiswa untuk turun kejalan-jalan..

Namun ada dua sisi lain dari sikap mahasiswa yang menimbulkan stigma (pandangan) buruk dari masyarakat. Tawuran antara sesama dan aksi kekerasan yang terjadi saat melakukan aksi demonstrasi, inilah yang intens diperlihatkan oleh mahasiswa. Dua sisi inilah yang banyak menimbulkan kecaman dari publik. Rakyat menganggap apa yang dilakukan tidak pantas sebagai cerminan intelektual.

Anggapan ini kalau dilihat oleh secara objektif, memang ada benarnya juga. mahasiswa kerap mempertontonkon aksi yang secara tidak langsung menggangu ketentraman masyarakat.

Pada akhirnya apa yang dilakukannya sekalipun dalam hal yang baik, akan terdegradasi (menurunkan) perannya sendiri. Bahkan juga menghilangkan perannya dimata rakyat. Jika begitu, aksi mahasiswa yang nantinya sekalipun itu d benar, tidak akan di dukung oleh rakyat.

Memang dalam beberapa hari ini publik disuguhkan oleh aksi-aksi mahasiswa yang bentrok dengan aparat kepolisian dan sesama universitas. Ini jelas merupakan tindakan yang sangat kontras dengan hakikat sebagai intelektual kritis.

Tulisan ini sama sekali tidak menjustifikasi (membenarkan) bahwa apapun yang dilakukan mahasiswa itu salah, dan juga tidak mendukung tindakan mahasiswa sepenuhnya yang berujung pada aksi anarkisme. Tulisan mencoba memotret mahasiswa dari sudut pandang penulis, dan mencoba menghadirkan pandangan lain seputar gerakannya. Mengingat mahasiswa adalah elemen penting yang berharga.

Kritis, Idealis, Romantis
Dunia kampus adalah dunia pluralitas (keberagaman), yang menghadirkan bermacam pemikiran, gagasan, idealisme, prinsip, dan orientasi bagi manusia. Pencarian identitas mahasiswa tak lepas dari yang namanya dunia kampus.

Namun, ketika kampus yang cenderung ”mengekang” kebebasan berpikir, maka cenderung menghasilkan mahasiswa yang apatis terhadap berbagai persoalan kehidupan sosial. Biasanya ciri kampus seperti menekankan mahasiswa fokus terhadap pelajaran, tanpa mendorong untuk berpartisipasi, berpikir, atau melibatkan diri dalam realitas sosial.

Beda misalnya dengan kampus yang sama sekali membiarkan pluralitas dan kebebasan itu tumbuh, sekaligus mendukung dan merangsang etika berpikir mahasiswa. Sifat kampus yang seperti ini sebaliknya menghasilkan ”jebolan” didik yang berwatak Skeptis-Kritis dalam melihat berbagai persoalan bangsa. Tetapi, tanpa mengabaikan urusan perkuliahan.

Sejatinya, mahasiswa harus mempunyai ”titel” sebagai Intelektual Kritis, Idealis dan Romantis. Ini bukan satu slogan yang didengungkan, melainkan jiwa yang harus melekat pada setiap individunya..

Kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah yang berindikasi tidak pro rakyat, Idealis dengan memegang teguh prinsip sebagai intelektual independen yang teguh terhadap nilai-nilai perjuangannya, Romantis dengan rakyat., tidak meningalkan rakyat dalam setiap hakikat perjuangannya, dan menjaga hubungan baik dengan rakyat.

Seperti itulah sebaik-baiknya sikap.. Sekalipun mahasiswa dianggap hanya idealis ketika berada dibangku kuliah, dan meninggalkan idealismenya untuk seribu kemungkinan ketika telah memakai toga sarjana. Tetapi sekali lagi walaupun demikian, ada semacam sejarah yang ditulis dengan tinta emas di hati rakyat.

Kondisi ini secara sadar atau tidak, akan beregenerasi dalam dunia kemahasiswaan. Tentunya dengan dinamisasi dan tingkat fleksibel yang unik bagi masing-masing mahasiswa terkait persentuhannya terhadap realitas yang ada.

Dimensi Gerakan
Kembali memaknai tulisan dari Pramoedya Ananta Toer tentang orang terpelajar (Mahasiswa), bahwa kita mahasiswa mempunyai kekuatan yang sangat besar dan spektrum yang luas. Kekuatan ini harus dikerahkan sebenar-benarnya dalam manghadapi berbagi persoalan yang dihadapi.

Dan kita juga semestinya tidak buta terhadap dimensi gerakan yang niscaya. Dimensi gerakan yang dimaksud di sini adalah, orientasi perjuangan dari mahasiswa itu sendiri, yang berlandaskan etika demokrasi.

Dalam pengertian bahwa, mahasiswa sudah harus bepikir adil dalam hal akan melakukan suatu keputusan. Jangan sampai karena emosi yang berlebihan dan mengatas-namakan kepentingan rakyat, maka mereka bertindak diluar batasan dan pada akhirnya merugikan kepentingan bersama. Ini tentunya sangat prihatin.

Kekuatan ini seharusnya diarahkan sebagai kekuatan solutif-Konstruktif . Sebagai solusi persoalan dan alat untuk membangun kembali tatanan dan struktur yang menyalahi aturan ”simetris” (menyalahi aturan konstitusi). Perlunya juga merubah kembali Mindset (cara berpikir) kawan-kawan mahasiswa yang mulai bergeser kearah tempramental.

Tentunya jika mahasiswa telah faham tentang Dimensi gerakannya, maka kejadian mahasiswa yang sering bentrok antar kampus, plus dengan aparat kepolisian, bisa dihindari. Masyarakat juga semakin mengapresiasi setiap perjuagan yang dilakukan oleh mahasiswa. Sekali lagi...!! tentunya jika mahasiswa memahami dimensi gerakannya.

Referensi Penulisan
Budiman, sujatmiko. Melawan Dengan Gerakan. Kompas, 12/10/2008.
Hariman, Siregar. Dari Diskusi ke Advokasi. Tempo, 26/05/2007.
Pramoedya, Ananta. Bumi Manusia. Gramedia Pustaka Utama

Selamat Jalan Reformasi............!!!!!!! (Potret Tentang Reformasi Dan Kekuatan Baru)

Reformasi Yang Mati Di Republik Ini

Sekilas Tentang Reformasi

Reformasi Indonesia adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam usaha menancapkan simbol-simbol demokrasi, dan menggulingkan kediktatoran rezim orde baru. Rezim yang sangat opurtunis, pragmatis, fasis-militeris, dan otoriter. Dengan alasan stabilitas keamanan dan pembangunan ekonomi, rezim ini melakukan tindakan represif bagi siapa saja yang menentangnya. Bahkan dituduh subversif dan merongrong kewibawaan presiden.

Kebebasan mengeluarkan pendapat di bungkan bersamaan dengan kebebasan pers. Orde baru pun runtuh setelah 32 tahun menguasai negeri ini dengan gaya otoriternya, ia diruntuhkan oleh perjuangan mahasiswa, (Bukan dosen lo.....) aktivis, dan tokoh-tokoh yang sekarang kebanyakan terjun ke dunia politik.

Aksi-aksi yang dilakukan untuk meruntuhkan orde baru sebenarnya telah terjadi cukup lama. Petisi 50, peristiwa malari (malapetaka 15 januari), kasus priok, kasus semanggi dan masih banyak lagi, adalah sebuah benang merah dari aksi yang mengusung agenda reformasi total di segala bidang. Puncak dari gerakan reformasi terjadi pada mei 1998 yang menyulut demonstrasi dimana-mana.

Di motori oleh Cendikiawan Prof. Dr. Muhammad Amien Rais yang dijuluki ”bapak reformasi”, mahasiswa dan para aktivis kepemudaan melakukan aksi di jalan-jalan. Bahkan saat melakukan aksi di depan gedung DPR/MPR, mahasiswa ”menyandera” ketua MPR saat itu Letjen TNI (purn) Harmoko.

Mereka juga menuntut untuk di bentuknya komite reformasi dan menuntut untuk memberhentikan H.M. Soeharto dari jabatan Presiden. Komite reformasi yang ingin dibentuk akhirnya gagal. Soeharto kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. Ia digantikan Prof. Dr. Bj Habibie sebagai Presiden.

Pergantian kepemimpinan ini pun dianggap oleh sebagian kalangan meyalahi aturan konstitusi, namun menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra SH. Msc, yang kala itu menjadi ”arsitek” pengunduran diri Soeharto, bahwa proses suksesi ini telah menempuh aturan konstitusi dan merupakan kompromi politik terbaik untuk menghindari konflik terbuka antar kelompok yang diramalkan akan terjadi. Dan akhirnya proses suksesi ini berjalan lancar walapun sarat akan tekanan dari kelompok tertentu.

Indonesia akhirnya memasuki babak baru. Sebuah babak yang membawa harapan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.

Tapi apakah harapan itu menjadi kenyataan?

Kemana Arah Reformasi ?

Bulan mei 1998 itu telah menjadi situs ”purbakala” dalam museum jiwa-jiwa dan waktu. 10 tahun tepatnya peristiwa populer itu telah berlalu dari ingatan kita semua. Meruntuhkan sebuah rezim yang sangat korup, pro kapitalis, diktator atau sering disebut aktivis sebagai ”rezim fasis”.

Gerakan reformasi pantas diberikan apresiasi dalam konteks keberlangsungan kebebasan berpolitik dan berpendapat dll, di Indonesia. Cita-cita reformasi adalah membawa Indonesia ke arah yang lebih demokratis, humanis, dan menjadi rumah yang ideal bagi rakyatnya.

Tapi, sungguh ironis jika kita melihat keadaan politik, ekonomi atau sampai pada hal-hal dalam sendi kehidupan masyarakat, tidak berubah sama sekali.

Malahan kebobrokan moral dari para politisi, birokrasi, dan aparat penegak hukum malah menjadi-jadi. Berbagai ”pekerjaan rumah” dari warisan rezim Soeharto kini terbengkalai bahkan ada kesan dilupakan sama sekali.

Reformasi yang diharapkan akan membawa perubahan dan menawarkan solusi pada permasalahan bangsa, kini hanya menjadi bahan perenungan semata tanpa ada hasil apa-apa. Banyaknya kepentingan yang mendomplengi gerakan reformasi, membuat makin kaburnya cita-cita dasar yang dibawa gerakan ini.

Menurut Prof. Dawam Rahardjo bahwa Amien Rais telah membuat hitungan yang salah dalam reformasi. Ia tidak membuat analisa sejauh mana gerakan ini akan membangun kembali tatanan kehidupuan sosial, politik, dan ekonomi. Ia juga tidak melihat ke belakang dan membaca seberapa banyak kepentingan yang akan memanfaatkan gerakan reformasi. Dan benar terjadi, setelah ”pintu” reformasi terbuka, Amien Rais kaget melihat begitu banyak arus kepentingan yang datang.

Menghilangnya tujuan reformasi sebenarnya bukan hanya karena begitu banyak kepentingan yang muncul. Kegagalan reformasi juga terjadi karena banyak aktivis-aktivis yang berjuang selama reformasi, menjauh dari dunia politik.

Hal ini menurut Budiman sudjatmiko yang mantan ketua umum Partai Rakyat Demokratik, menyebabkan kembalinya antek-antek Soeharto menguasai panggung negara Indonesia. Sungguh sangat ironis sekali..!!!

M. Fadjroel Rahman dalam kumpulan artikel yang dibukukan, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, juga mengemukakan sejumlah fakta empiris tentang matinya reformasi sebagai awal dari transisi, pendalaman, dan perluasan demokrasi.

Diperkuat dengan terminologi reformasi oleh Dr. Darsono SE. SF seorang dosen Filsafat di UI, maka dengan penuh kekecewaan kita harus menyatakan bahwa GOOD BYE REFORMASI....!!! Dalam artian bahwa reformasi telah gagal total. Inilah sebuah kenyataan baru yang harus diterima oleh rakyat Indonesia.

Dalam bukunya tentang Ekonomi Politik Karl Marx, Dr. Darsono menjelaskan bahwa reformasi atau perubahan terdiri atas tiga bidang. Yaitu reformasi politik, ekonomi, dan Sosial budaya.

  • Reformasi politik : merubah sistem politik yang lama dan menggantinya dengan yang baru dalam suatu negara, untuk menuju sistem yang lebih baik.

  • Reformasi Ekonomi : meninggalkan sistem ekonomi yang lama dan mengganti dengan sistem atau kebijakan ekonomi yang baru.

  • Reformasi Budaya : mengubah cara berpikir dan cara pandang masyarakat (feodalis) yang lama dengan cara berpikir baru yang lebih demokratis.

Lebih lanjut menurut Dr. Darsono bahwa ketiga bidang ini harus berjalan beriringan. Reformasi politik tanpa ekonomi dan budaya tidak akan bertahan lama atau tidak akan menawarkan suatu. Karena sistem ekonomi dan cara berpikir masyarakat lama akan kembali menguasai sistem politik, yang akhirnya negara kembali pada sistem politik yang lama.

Dalam konteks Indonesia terlihat bahwa reformasi politik berjalan sendirian, tanpa ada reformasi ekonomi dan reformasi budaya. Kebijakan ekonomi pasca reformasi masih sangat jauh dari harapan.

Begitu pula dengan cara berpikir orang Indonesia. Kita mengalami krisis moral. Semua ini menegaskan bahwa kita telah kembali pada zaman orde baru, tapi dalam spektrum yang berbeda. Dan sekali lagi, reformasi makin mengalami kehilangan tujuan. Lagi-lagi ironis...!!!!

Membangun Kekuatan Kembali

Kegagalan reformasi tidak harus menjadi sebuah pesimistis. Menurut Fadjroel Rahman, gagalnya cita-cita mulia ini harus menjadi dasar optimisme-skeptis bagi lahirnya gerakan reformasi yang baru, dan untuk terwujudnya politik demokrasi-partisipatif.

Perlu disadari bahwa pioner gerakan reformasi salah satunya adalah mahasiswa, yang banyak membeikan sumbangan penting dalm perjalanan bangsa. Untuk itu Mahasiswa angkatan sekarang harus memikirkan bagaimana membangun kekuatan kembali dan meminta ”restu” para mantan aktivis gerakan mahasiswa 1989/1990 dan 1998 yang masih mampu mempertahankan integritas moral, intelektual, jaringan kerja untuk menggerakan reformasi baru.

Lebih lanjut Fadjroel Rahman mengatakan bahwa mahasiswa angkatan sekarang, perlu menelaah kegagalan dari reformasi sebelumnya, dan menyusun analisis, agenda, organisasi, serta teliti melihat momentum politik dan ekonomi (nasional global).

Membangun kekuatan kembali sangat tidak mudah, mahasiswa perlu siap mental dan fisik. Mematangkan konsep dan pengetahuan juga tak kalah penting, agar dapat memahami hakikat perjuangannya.

Namun jika pada saat ini melakukan agenda reformasi baru di rasa sangat sulit, atau lemahnya kordinasi, paling tidak mahasiswa tidak menarik diri dari peta perpolitikan. Mahasiswa hadir untuk memberi masukan, kritik, aspirasi dan mendukung kebijakan pemerintah bila itu pro rakyat.

Lebih lanjut mahasiswa harus menjadi POLISI dalam setiap kebijakan pemerintah yang melenceng dan melanggar konstitusi, jika para politisi dan oposisi hanya menjadi pengekor.

Kenapa Membangun Kekuatan?

Pertanyaan diatas menegaskan apa yang menjadi tujuan dalam membangun kekuatan. Reformasi dilakukan untuk memperbaharui kembali konsep demokrasi kita yang telah kehilangan maknanya.

Setelah orde baru runtuh kenapa kita masih saja tidak beranjak dari posisi kita yang kemarin. Kita seakan betah tinggal di dalam rumah yang atapnya banyak bocor, tapi anehnya kita sama sekali tidak terusik dengan kondisi seperti itu sedikit pun.

Demokrasi itu tidak berjalan dalam logika pengecualian, logika pengecualian demokrasi mungkin masanya telah usai, yaitu pada masa yunani kuno (403 SM) atau biasa disebut dengan demos. Demos ini adalah orang-orang yang mempunyai hak istimewa dalam berdemokrasi, secara otomatis menjadi warganegara kelas satu.

Dalam konteks Indonesia secara de jure kita dijamin dalam UUD 45, tetapi secara de facto kita merasa ada segelintir orang yang menjadi demos di Indonesia ini. Akhirnya demokrasi itu ”menguap” ke udara dan hasilnya, kita telah menemukan keprihatinan-keprihatinan yang menyesakan dada. Mulai dari korupsi, kasus suap, pembunuhan, kekerasan, kejahatan hukum kita tonton di depan mata.

Jika pemerintah hanya banyak bicara dan sedikit bekerja, maka meminjam istialah Ir. Soekarno, kita harus banyak bicara dan banyak bekerja. Bekerja untuk apa? Untuk melawan logika pengecualian dan memberantas demos-demos yang menyengsarakan negara Indonesia.

Demokrasi sejatinya harus membesi dalam hukum yang keras, agar tidak terjadi lagi kesalahan. Dan ini adalah tantangan. Begitulah kiranya niat membangun kekuatan baru berangkat.

tugas mulia kami bukan memperbaiki yang lama, tetapi membuat dunia yang baru.” (Mr. Barack Obama Jr.)

Perenungan

Pembelajaran dari pengalaman adalah sebuah filsafat moral yang bagus untuk percerminan diri. Pengalaman seperti cermin waktu yang ada dalam akal dan pikiran manusia. Itulah kiranya yang menjadi bahan perenungan untuk bertindak. akal dan pikiran adalah mahakarya dari TUHAN YME yang menjadi modal dasar dalam hidup. Jangan sampai akal yang menjadi modal manusia, di perbudak untuk kepentingan kejahatan dan merugikan manusia lain.


Sesungguhnya perbudakan akal jauh lebih menyedihkan dari pada perbudakan jiwa. Kebebasan akal dan pikiran merupakan bahaya bagi mereka yang takut akan perubahan dan kebenaran.

Pengorbanan yang diberikan untuk memperoleh kebebasan akal sering kali sangat tinggi. SOCRATES di hukum mati karena ia bersikeras menjadi seorang ”penggangu”; ia memegang prinsip untuk tetap mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai hal kepada mereka yang merasa mengetahui.

GALILEO disiksa dan BRUNO dibakar diatas api unggung, karena menentang kepercayaan-keprcayaan yang dianut oleh umum (hegemoni gereja pada waktu itu). RENE DESCARTES pernah melarikan diri untuk menyelamatkan jiwanya.

Semua karena kebebasan akal yang akhirnya menjadi kebenaran di masa mendatang. Kebebasan akal hanya terjadi melalui pendidikan dan perenungan, juga dengan bertindak sebenar-benarnya. Itulah hakikat perjuangan

Referensi Penulisan

Darsono. Ekonomi Politik Karl Marx.Skripsi Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia.

Jakarta: 1989 ( diterbitkan kembali oleh LP3S Jakarta: 2003).

Khalid, Santosa. Praktik Demokrasi Langsung Di Indonesia. Jakarta: Segar Arsy, 2004.

Kattsof, Louiss. Pengantar Ilmu Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

M. Fadjroel Rahman. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Jakarta: koekoesan, 2007.

Selasa, 02 Desember 2008

Resensi Buku (Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat)

Membaca tulisan dia, kita akan diajak mengelilingi pohon bernama demokrasi. Ibarat pohon, maka demokrasi tidak hanya tumbuh di Indonesia. Fadjroel adalah salah satu orang yang setia memberitakan pertumbuhan pohon demokrasi di negara sendiri dan belahan dunia lain.

Demokrasi merupakan pohon yang kita sebar benihnya dan setelah tumbuh dijaga secara bersama. Salah besar jika menjaga demokrasi adalah tugas dari satu kelompok saja --seperti intelektual yang berkelompok dalam gerakan pro-demokrasi.

Demokrasi menurut Fadjroel akan mengalami perluasan dan pendalaman apabila ada kontrol dari masyarakat sipil, masyarakat ekonomi, masyarakat politik, dan produk hukum. semua ini akan berjalan berkelindan dan saling melengkapi.

Fadjroel menjelaskan, perkembangan demokrasi di Indonesia dan beberapa kemungkinan perubahan di masa depan yang selalu berpijak pada realitas kekinian. Ketekunannya menghidupi demokrasi sangat luar biasa. Fadjroel melakukan penjelajahan teori dan praksis tentang demokrasi secara menyeluruh. Ia tidak hanya kuat secara teoritis, tetapi juga senantiasa membumikan demokrasi sesuai karakteristik masyarakat Indonesia kontemporer.

Menjaga demokrasi sebagai pohon yang teduh bagi siapa pun, hanya mungkin jika sikap kritis dan partisipatif muncul dalam masyarakat kita. Maka dari itu, demokrasi harus senantiasa diisi oleh individu yang berwatak demokrat. Individu yang setia pada kebenaran dan selalu bertanggung jawab pada kebebasan yang dimilikinya. Tatanan masyarakat demokratis-partisipasipatif, sosialisme-partisipatif adalah tema besar yang selalu digali secara intens oleh Fadjroel dalam buku ini.

Individu yang gandrung akan kebenaran tidak akan sepakat dengan dogmatisme teori dan ajaran. Kebenaran akan selalu dicari melalui pergulatan dengan lingkungan tempat individu bermukim. Artinya, ada dialektika yang selalu bergerak untuk menyikapi makna kebenaran. Dari situlah, sikap kritis dapat dibangun dan dikembangkan dalam suatu masyarakat.

Dengan tegas, Fadjroel menggugat makna demokrasi yang hanya sebatas seremonial. Belum lekang dari ingatan kita, Pemilu 2004 mendapat pujian dari dunia internasional. Pasalnya, seluruh rakyat Indonesia benar-benar memilih presiden dalam perhelatan demokrasi tersebut --macam pemilihan pada era Yunani Kuno. Tetapi, bagi Fadjroel, sepanjang ketidakadilan masih berkeliaran di bumi pertiwi belumlah demokratis negeri kita ini.

Hubungan antara elite dan masyarakat yang setara adalah tujuan demokrasi ditegakan di suatu negeri. Tentu saja, dengan tidak meninggalkan masa lalu sebagai suatu yang harus diungkap agar yang kita sebut kejahatan tidak berulang di masa kini. Nampak sekali, Fadjroel adalah sosok yang begitu setia berteriak menolak ketidakadilan, keserakahan, kekerasan, dan segala bentuk kezaliman yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Saya melihat, Fadjroel begitu percaya bahwa pembangunan masyarakat bukanlah hari ini saja, tetapi juga menautkan pengalaman pada masa lalu.

Demokrasi adalah semangat yang harus dibangun dalam berbagai ruang kehidupan di negeri ini. Maka dari itu, walau Fadjroel adalah seorang yang setuju akan golput (golongan putih), tetapi ia menambahkan kata aktif di belakangnya. Bagi Fadjroel, golput aktif adalah sikap yang senantiasa kritis terhadap kebijakan yang tidak pro-rakyat, namun tidak memilih dalam pemilu. Sikap seperti ini adalah sah, sepanjang Indonesia masih dihuni oleh maling yang berkedok elite dan penjahat yang bertopeng hakim.

Fadjroel Rahman dan tulisan-tulisannya adalah musuh bagi elite yang totaliter dan otoriter. Sementara itu, bagi kita yang ingin mempelajari bagaimana menumbuhkan pohon demokrasi kritis-partispatoris, membaca tulisan Fadjroel Rahman adalah pintu masuk yang baik.

Dan menambahkan apa yang menjadi kata Pengantar buku ini yang di tulis oleh Dony Gahral Adian, bahwa Fadjroel melawan logika pengecualian yang kronis pada demokrasi.
Demokrasi seharusnya membesi dalam produk Hukum, agar tidak terjadi lagi pendekatan yang melanggar hakikat kebebasan dan pendekatan kekerasan.

Maka apabila demokrasi akan berjalan sesuai hakikat kemanusiaan, itu merupakan tanggung jawab kaum demokrat.



Judul Buku : Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan
Penulis : M. Fadjroel Rahman
Tahun Terbit : I, 2007
Penerbit : Penerbit Koekoesa
n

Senin, 01 Desember 2008

Hujan Sastra Hari Ini


Tak ada yang bisa mematikan cinta jika
kita menanamnya dalam otak dan hati..

Ada hal yan menarik jika hari ini kita bersatu dalam senyuman
untuk memuji kehebatan kasih sayang yang berkristal cinta..

Menarik, menarik karna tak ada yang bisa
meraihnya ataupun mengusiknya...

Walaupun ada yang menikmati senyumannya atau senyumku
maka itu juga anugrah..
namun tak bisa memilikinya
karena ada yang telah berikrar padanya..

Hari ini, besok, atau lusa
Aku bahagia jika kita sama-sama mengerti sayang...

Dan.., aku akan menghujanimu dengan sastra...