Selasa, 09 Desember 2008

Sebuah Perenungan Dari Sikap Golput

Sebuah Prolog
Demokrasi menurut cendikiawan DR. Muhammmad Natsir yaitu sebuah konsep yang tidak lepas dari bahaya yang tekandung didalamnya. Karena dari banyak perjalanan sejarah, demokrasi telah membuktikan kekurangannya. Sedangkan demokrasi menurut budayawan Prof. Dr. Frans Magnis Suseno adalah sebuah konsep yang sangat brilian dan akomodatif (sangat terbuka) dalam kultur yang mejemuk (aneka ragam).

Paradoks memang, pertentangan pemikiran dari dua tokoh Indonesia kontemporer ini. Sedangkan konsep demokrasi sendiri bukan lagi barang asing di Indonesia. Demokrasi sendiri sudah di terapkan pada zaman baheula (dulu) yaitu pada awal kemerdekaan. Ada demokrasi pancasila, demokrasi kerakyatan, demokrasi terpimpin dan sekarang yang dianut adalah demokrasi “keblinger”.

Dalam jangka beberapa bulan kedepan seluruh rakyat Indonesia baik dari kalangan elite, simpatisan, maupun massa akar rumput (gross root) partai, akan menghadapi “pesta” demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat.

Pemilu legislatif merupakan “tiket” untuk parpol-parpol melangkah dalam pilpres dengan mengusung calon yang di unggulkan. Tentunya jika parpol-parpol tersebut meraih dukungan suara 30% dari rakyat atau koalisi dari beberapa parpol yang bisa mencapai angka itu.

Banyak sekali ekspektasi/ harapan dari masyrakat pada setiap Pemilu berlangsung. Harapan itulah yang dilihat para politikus sebagai sebuah cela untuk membawa politisi yang bersangkutan ke dalam “kawah candrimurka”, demi memperjuangkan kepentingan rakyat atau sebaliknya. Masa kampanye yang ditetapkan oleh KPU bagi Parpol-parpol yaitu 9 bulan, adalah waktu yang sangat melelahkan moril, materi, dan mulut tentunya.


Fenomena golput
Setiap pilihan politik rakyat sangat dijamin dalam konstitusi dasar 1945. pilihan rakyat adalah ekspresi diri. Golput sendiri termasuk pilihan politik dan merupakan kekuatan yang menjadi perhatian serius semua kalangan ketika genderang perang kampanye mulai ditabu.

Berbagai diskusi tentang golput pun makin populer. Apakah golput adalah sebuah pilihan bijaksana, ataukah sebuah pilihan frustasi?
Menurut guru besar UGM Prof. Dr. Dawan Rahardjo, pilihan politik adalah sebuah perenungan individu untuk eksistensi diri. Berangkat dari hal ini golput merupakan pernyataan sikap yang bebas dan menjadi pesan moral untuk menggugat persoalan bangsa.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menggunakan hak politik (golput) merupakan sisi lain dari pembelajaran politik. Seharusnya pencitraan terhadap golput sebagai sebuah tindakan frustasi harusnya dapat ditinggalkan dengan berpikiran yang lebih objektif.

Apakah dengan menggunakan hak politik persoalan bangsa akan selesai?

Penulis tidak menuduh bahwa orang-orang “golongan merah”, “golongan hijau”, “golongan kuning”, atau “golongan hitam” sekalipun tidak objektif, tetapi permasalahan bangsa lebih tepat dihadapi dengan generalisasi perbedaan, bukan dengan mengerucutkan/mempertajam perbedaan. penulis sendiri juga tidak menjustifikasi (membenarkan) bahwa golput adalah langkah yang paling benar saat ini. Tapi paling tidak golput dapat diterima sebagai sebuah khazanah dalam iklim demokrasi kekiniaan.

Anggapan bahwa golput adalah tindakan sia-sia dan tidak berinvestasi terhadap kemajuan bangsa sangatlah disesalkan. apa dasar anggapan tersebut?

Investasi terhadap bangsa dan negara esensinya bukan hanya memilih pemimpin yang merupakan hak politik, tetapi ada yang tidak dicermati oleh kelompok penentang golput yaitu membayar pajak, menyekolahkan anak- anak, menjaga ketertiban, keamanan, dan yang utama mempunyai rasa cinta tanah air adalah esensi yang lain dari investasi kemajuan bangsa.

Tapi sekali lagi ini tak menjadi tinjauan empiris dari kelompok itu.
Perlu diingat bahwa pemilu merupakan esensi yang kecil dari demokrasi, dan masih banyak esensi lain dari demokrasi yang sangat serius untuk di kawal prosesnya.


Demokrasi yang mati di parpol?

Partai politik menjadi penemuan yang sangat penting di bidang politik dalam era modern. Menurut Prof. Dr. Dawam Rahardjo, partai politik merupakan institusi multi fungsi yang sangat kompleks dalam perspektif kepentingan. masing-masing Parpol mempunyai aturan-aturan berbeda dalam internal parpol, tergantung ideologi dan kepentingannya.

Sedangkan definisi parpol menurut Prof. Miriam Budiardjo yaitu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Dan tujuan dari kelompok ini untuk merebut kekuasaan politik untuk melaksanakan programnya.

Dari dua pengertian diatas, kita dapat menarik benang merah (keterkaitan) yang paling mendasar yaitu kepentingan, dan kekuasaan. Namun yang menjadi persoalan serius adalah apakah parpol-parpol itu menjunjung tinggi demokrasi, atau sebaliknya melakukan kebohongan publik?

Mekanisme suara terbanyak, perekrutan caleg dan penetapan nomor urut merupakan persoalan internal yang berurat-akar kepentingan. Doktrinisasi tujuan dan kepentingan partai dalam perekrutan calon anggota adalah sebuah harga mati bagi eksistensi partai, namun adakah kepentingan soal rakyat yang doktrin partai juga?

Ketika banyak bermunculan artis dan anak petinggi partai mencalonkan diri mungkinkah partai mengalami pembusukan demokrasi, ataukah masih adanya hegemoni dan oligarki di parpol-parpol di Indonesia. Kita tidak tahu persis apa alasannya, tetapi parpol punya seribu cara untuk menjawabnya.

Bagaikan Jamur di musim hujan, pepatah ini kiranya tepat untuk menggambarkan fenomena yang terjadi di dunia politik akhir-akhir ini. Artis dan anak pejabat berlomba-lomba untuk duduk di senayan. Alasan yang pakai karena merasa terpanggil untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.

Memang benar bila dikotomi tehadap artis maupun anak pejabat yang masuk dalam dunia politik atau menjadi calon legislatif maupun eksekutif harus disingkirkan. Tapi tidak ada jaminan bahwa apakah mereka mendapat hak politik yang sama dalam partai dengan kader-kader lain yang bukan anak pejabat. Atau malah diistimewakan.

Rakyat pun tidak tahu kapasitas intelektual, integritas, dan sejauh mana visi mereka dalam mengatasi tumpukan persoalan bangsa. Pasifnya partisipasi masyarakat dan masa begonya parpol dalam rencana politiknya, akan semakin meniadakan pendidikan politik yang baik.

Bukankah ini akan mempersempit karier dari kader potensial yang mempunyai kapasitas sebagai politisi berhati nurani.
Persoalan berdemokrasi di Indonesia memang cukup pelik dan rumit, tetapi jika hal-hal kecil saja dibuat rumit, maka sebenarnya itu pertanda bahwa demokrasi kita telah menjelma menjadi demokrasi kuburan. Wallahuallam......

Epilog
Kehidupan yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia adalah terwujudnya stabilitas ekonomi, keamanan, terciptanya lapangan kerja, dan kebebasan berpendapat.
Terlalu banyak kesemerawutan dalam setiap lini Kehidupan di Negara tercinta ini, Hingga terlalu muluk-muluk jika rakyat terlalu banyak berharap. Semoga para founding father Indonesia dapat tersenyum melihat kita bangsa ini dari SURGA. Semoga......




Referensi Tulisan
M. Fadjroel, Rahman. Golput Pemenang Pemilu. Kompas, Selasa 7/01/2004. hlm. 4.
Miriam, Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik (revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Mujani, Syaiful. Selera Politik Kaum Pinggiran.Republika, rabu 7/10/2007. hlm. 7
Rahardjo, Dawan. Pluralisme Politik, Pluralisme Agama. Jogjakarta: Insight, 2002.

Tidak ada komentar: