Rabu, 03 Desember 2008

Selamat Jalan Reformasi............!!!!!!! (Potret Tentang Reformasi Dan Kekuatan Baru)

Reformasi Yang Mati Di Republik Ini

Sekilas Tentang Reformasi

Reformasi Indonesia adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam usaha menancapkan simbol-simbol demokrasi, dan menggulingkan kediktatoran rezim orde baru. Rezim yang sangat opurtunis, pragmatis, fasis-militeris, dan otoriter. Dengan alasan stabilitas keamanan dan pembangunan ekonomi, rezim ini melakukan tindakan represif bagi siapa saja yang menentangnya. Bahkan dituduh subversif dan merongrong kewibawaan presiden.

Kebebasan mengeluarkan pendapat di bungkan bersamaan dengan kebebasan pers. Orde baru pun runtuh setelah 32 tahun menguasai negeri ini dengan gaya otoriternya, ia diruntuhkan oleh perjuangan mahasiswa, (Bukan dosen lo.....) aktivis, dan tokoh-tokoh yang sekarang kebanyakan terjun ke dunia politik.

Aksi-aksi yang dilakukan untuk meruntuhkan orde baru sebenarnya telah terjadi cukup lama. Petisi 50, peristiwa malari (malapetaka 15 januari), kasus priok, kasus semanggi dan masih banyak lagi, adalah sebuah benang merah dari aksi yang mengusung agenda reformasi total di segala bidang. Puncak dari gerakan reformasi terjadi pada mei 1998 yang menyulut demonstrasi dimana-mana.

Di motori oleh Cendikiawan Prof. Dr. Muhammad Amien Rais yang dijuluki ”bapak reformasi”, mahasiswa dan para aktivis kepemudaan melakukan aksi di jalan-jalan. Bahkan saat melakukan aksi di depan gedung DPR/MPR, mahasiswa ”menyandera” ketua MPR saat itu Letjen TNI (purn) Harmoko.

Mereka juga menuntut untuk di bentuknya komite reformasi dan menuntut untuk memberhentikan H.M. Soeharto dari jabatan Presiden. Komite reformasi yang ingin dibentuk akhirnya gagal. Soeharto kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. Ia digantikan Prof. Dr. Bj Habibie sebagai Presiden.

Pergantian kepemimpinan ini pun dianggap oleh sebagian kalangan meyalahi aturan konstitusi, namun menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra SH. Msc, yang kala itu menjadi ”arsitek” pengunduran diri Soeharto, bahwa proses suksesi ini telah menempuh aturan konstitusi dan merupakan kompromi politik terbaik untuk menghindari konflik terbuka antar kelompok yang diramalkan akan terjadi. Dan akhirnya proses suksesi ini berjalan lancar walapun sarat akan tekanan dari kelompok tertentu.

Indonesia akhirnya memasuki babak baru. Sebuah babak yang membawa harapan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.

Tapi apakah harapan itu menjadi kenyataan?

Kemana Arah Reformasi ?

Bulan mei 1998 itu telah menjadi situs ”purbakala” dalam museum jiwa-jiwa dan waktu. 10 tahun tepatnya peristiwa populer itu telah berlalu dari ingatan kita semua. Meruntuhkan sebuah rezim yang sangat korup, pro kapitalis, diktator atau sering disebut aktivis sebagai ”rezim fasis”.

Gerakan reformasi pantas diberikan apresiasi dalam konteks keberlangsungan kebebasan berpolitik dan berpendapat dll, di Indonesia. Cita-cita reformasi adalah membawa Indonesia ke arah yang lebih demokratis, humanis, dan menjadi rumah yang ideal bagi rakyatnya.

Tapi, sungguh ironis jika kita melihat keadaan politik, ekonomi atau sampai pada hal-hal dalam sendi kehidupan masyarakat, tidak berubah sama sekali.

Malahan kebobrokan moral dari para politisi, birokrasi, dan aparat penegak hukum malah menjadi-jadi. Berbagai ”pekerjaan rumah” dari warisan rezim Soeharto kini terbengkalai bahkan ada kesan dilupakan sama sekali.

Reformasi yang diharapkan akan membawa perubahan dan menawarkan solusi pada permasalahan bangsa, kini hanya menjadi bahan perenungan semata tanpa ada hasil apa-apa. Banyaknya kepentingan yang mendomplengi gerakan reformasi, membuat makin kaburnya cita-cita dasar yang dibawa gerakan ini.

Menurut Prof. Dawam Rahardjo bahwa Amien Rais telah membuat hitungan yang salah dalam reformasi. Ia tidak membuat analisa sejauh mana gerakan ini akan membangun kembali tatanan kehidupuan sosial, politik, dan ekonomi. Ia juga tidak melihat ke belakang dan membaca seberapa banyak kepentingan yang akan memanfaatkan gerakan reformasi. Dan benar terjadi, setelah ”pintu” reformasi terbuka, Amien Rais kaget melihat begitu banyak arus kepentingan yang datang.

Menghilangnya tujuan reformasi sebenarnya bukan hanya karena begitu banyak kepentingan yang muncul. Kegagalan reformasi juga terjadi karena banyak aktivis-aktivis yang berjuang selama reformasi, menjauh dari dunia politik.

Hal ini menurut Budiman sudjatmiko yang mantan ketua umum Partai Rakyat Demokratik, menyebabkan kembalinya antek-antek Soeharto menguasai panggung negara Indonesia. Sungguh sangat ironis sekali..!!!

M. Fadjroel Rahman dalam kumpulan artikel yang dibukukan, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, juga mengemukakan sejumlah fakta empiris tentang matinya reformasi sebagai awal dari transisi, pendalaman, dan perluasan demokrasi.

Diperkuat dengan terminologi reformasi oleh Dr. Darsono SE. SF seorang dosen Filsafat di UI, maka dengan penuh kekecewaan kita harus menyatakan bahwa GOOD BYE REFORMASI....!!! Dalam artian bahwa reformasi telah gagal total. Inilah sebuah kenyataan baru yang harus diterima oleh rakyat Indonesia.

Dalam bukunya tentang Ekonomi Politik Karl Marx, Dr. Darsono menjelaskan bahwa reformasi atau perubahan terdiri atas tiga bidang. Yaitu reformasi politik, ekonomi, dan Sosial budaya.

  • Reformasi politik : merubah sistem politik yang lama dan menggantinya dengan yang baru dalam suatu negara, untuk menuju sistem yang lebih baik.

  • Reformasi Ekonomi : meninggalkan sistem ekonomi yang lama dan mengganti dengan sistem atau kebijakan ekonomi yang baru.

  • Reformasi Budaya : mengubah cara berpikir dan cara pandang masyarakat (feodalis) yang lama dengan cara berpikir baru yang lebih demokratis.

Lebih lanjut menurut Dr. Darsono bahwa ketiga bidang ini harus berjalan beriringan. Reformasi politik tanpa ekonomi dan budaya tidak akan bertahan lama atau tidak akan menawarkan suatu. Karena sistem ekonomi dan cara berpikir masyarakat lama akan kembali menguasai sistem politik, yang akhirnya negara kembali pada sistem politik yang lama.

Dalam konteks Indonesia terlihat bahwa reformasi politik berjalan sendirian, tanpa ada reformasi ekonomi dan reformasi budaya. Kebijakan ekonomi pasca reformasi masih sangat jauh dari harapan.

Begitu pula dengan cara berpikir orang Indonesia. Kita mengalami krisis moral. Semua ini menegaskan bahwa kita telah kembali pada zaman orde baru, tapi dalam spektrum yang berbeda. Dan sekali lagi, reformasi makin mengalami kehilangan tujuan. Lagi-lagi ironis...!!!!

Membangun Kekuatan Kembali

Kegagalan reformasi tidak harus menjadi sebuah pesimistis. Menurut Fadjroel Rahman, gagalnya cita-cita mulia ini harus menjadi dasar optimisme-skeptis bagi lahirnya gerakan reformasi yang baru, dan untuk terwujudnya politik demokrasi-partisipatif.

Perlu disadari bahwa pioner gerakan reformasi salah satunya adalah mahasiswa, yang banyak membeikan sumbangan penting dalm perjalanan bangsa. Untuk itu Mahasiswa angkatan sekarang harus memikirkan bagaimana membangun kekuatan kembali dan meminta ”restu” para mantan aktivis gerakan mahasiswa 1989/1990 dan 1998 yang masih mampu mempertahankan integritas moral, intelektual, jaringan kerja untuk menggerakan reformasi baru.

Lebih lanjut Fadjroel Rahman mengatakan bahwa mahasiswa angkatan sekarang, perlu menelaah kegagalan dari reformasi sebelumnya, dan menyusun analisis, agenda, organisasi, serta teliti melihat momentum politik dan ekonomi (nasional global).

Membangun kekuatan kembali sangat tidak mudah, mahasiswa perlu siap mental dan fisik. Mematangkan konsep dan pengetahuan juga tak kalah penting, agar dapat memahami hakikat perjuangannya.

Namun jika pada saat ini melakukan agenda reformasi baru di rasa sangat sulit, atau lemahnya kordinasi, paling tidak mahasiswa tidak menarik diri dari peta perpolitikan. Mahasiswa hadir untuk memberi masukan, kritik, aspirasi dan mendukung kebijakan pemerintah bila itu pro rakyat.

Lebih lanjut mahasiswa harus menjadi POLISI dalam setiap kebijakan pemerintah yang melenceng dan melanggar konstitusi, jika para politisi dan oposisi hanya menjadi pengekor.

Kenapa Membangun Kekuatan?

Pertanyaan diatas menegaskan apa yang menjadi tujuan dalam membangun kekuatan. Reformasi dilakukan untuk memperbaharui kembali konsep demokrasi kita yang telah kehilangan maknanya.

Setelah orde baru runtuh kenapa kita masih saja tidak beranjak dari posisi kita yang kemarin. Kita seakan betah tinggal di dalam rumah yang atapnya banyak bocor, tapi anehnya kita sama sekali tidak terusik dengan kondisi seperti itu sedikit pun.

Demokrasi itu tidak berjalan dalam logika pengecualian, logika pengecualian demokrasi mungkin masanya telah usai, yaitu pada masa yunani kuno (403 SM) atau biasa disebut dengan demos. Demos ini adalah orang-orang yang mempunyai hak istimewa dalam berdemokrasi, secara otomatis menjadi warganegara kelas satu.

Dalam konteks Indonesia secara de jure kita dijamin dalam UUD 45, tetapi secara de facto kita merasa ada segelintir orang yang menjadi demos di Indonesia ini. Akhirnya demokrasi itu ”menguap” ke udara dan hasilnya, kita telah menemukan keprihatinan-keprihatinan yang menyesakan dada. Mulai dari korupsi, kasus suap, pembunuhan, kekerasan, kejahatan hukum kita tonton di depan mata.

Jika pemerintah hanya banyak bicara dan sedikit bekerja, maka meminjam istialah Ir. Soekarno, kita harus banyak bicara dan banyak bekerja. Bekerja untuk apa? Untuk melawan logika pengecualian dan memberantas demos-demos yang menyengsarakan negara Indonesia.

Demokrasi sejatinya harus membesi dalam hukum yang keras, agar tidak terjadi lagi kesalahan. Dan ini adalah tantangan. Begitulah kiranya niat membangun kekuatan baru berangkat.

tugas mulia kami bukan memperbaiki yang lama, tetapi membuat dunia yang baru.” (Mr. Barack Obama Jr.)

Perenungan

Pembelajaran dari pengalaman adalah sebuah filsafat moral yang bagus untuk percerminan diri. Pengalaman seperti cermin waktu yang ada dalam akal dan pikiran manusia. Itulah kiranya yang menjadi bahan perenungan untuk bertindak. akal dan pikiran adalah mahakarya dari TUHAN YME yang menjadi modal dasar dalam hidup. Jangan sampai akal yang menjadi modal manusia, di perbudak untuk kepentingan kejahatan dan merugikan manusia lain.


Sesungguhnya perbudakan akal jauh lebih menyedihkan dari pada perbudakan jiwa. Kebebasan akal dan pikiran merupakan bahaya bagi mereka yang takut akan perubahan dan kebenaran.

Pengorbanan yang diberikan untuk memperoleh kebebasan akal sering kali sangat tinggi. SOCRATES di hukum mati karena ia bersikeras menjadi seorang ”penggangu”; ia memegang prinsip untuk tetap mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai hal kepada mereka yang merasa mengetahui.

GALILEO disiksa dan BRUNO dibakar diatas api unggung, karena menentang kepercayaan-keprcayaan yang dianut oleh umum (hegemoni gereja pada waktu itu). RENE DESCARTES pernah melarikan diri untuk menyelamatkan jiwanya.

Semua karena kebebasan akal yang akhirnya menjadi kebenaran di masa mendatang. Kebebasan akal hanya terjadi melalui pendidikan dan perenungan, juga dengan bertindak sebenar-benarnya. Itulah hakikat perjuangan

Referensi Penulisan

Darsono. Ekonomi Politik Karl Marx.Skripsi Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia.

Jakarta: 1989 ( diterbitkan kembali oleh LP3S Jakarta: 2003).

Khalid, Santosa. Praktik Demokrasi Langsung Di Indonesia. Jakarta: Segar Arsy, 2004.

Kattsof, Louiss. Pengantar Ilmu Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

M. Fadjroel Rahman. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Jakarta: koekoesan, 2007.

Tidak ada komentar: