Rabu, 03 Desember 2008

Mahasiswa Intelektual Kritis, Idealis, Romantis.

Orang yang terpelajar (Mahasiswa) harus berpikir adil sejak dari pemikiran, apalagi dengan perbuatan. (Pramoedya Ananta Toer)


Kutipan tulisan diatas diambil dari bukunya yang berjudul BUMI MANUSIA, yang maknanya kita lihat masih sangat relevan (berlaku) pada zaman sekarang. Pramoedya sadar betul, bahwa kaum-kaum terpelajar (mahasiswa) mempunyai kekuatan yang sangat besar dan mempunyai spektrum (daya ledak) yang luas, dan kuat.

Kekuatan yang bukan hanya mampu meruntuhkan tetapi juga dapat membangun kembali tatanan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan cara pandang (paradigma) masyarakat. Bahkan sangup sampai pada hal-hal kecil sekalipun, dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tanpa kekuatan ini, maka perwujudan nilai-nilai demokrasi, hak asasi, kebebasan berpendapat akan menjadi sebuah khayalan bagi rakyat kecil.

Kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya, bukan seperti monolog (karya tunggal) seorang sutradara teater yang biasa dipentaskan tanpa memberikan kewenangan penonton untuk melakukan kritik, tapi seperti sebuah arena diskusi yang permisif, menerima, dan mempertimbangkan semua gagasan-gagasan yang di ”muntahkan” dari forum itu. Ini akan memperlihatkan proses dinamisasi (kelenturan) dan relevansi gagasan.

Mahasiswa yang semestinya menjadi kontrol sosial dan politik, atau meminjam istilah Usman Hamid yang kondinator kontras, bahwa mahasiswa adalah ”anjing penjaga” yang melindungi rakyat dari kebijakan pemerintah yang salah, harus menyadari potensi dan kelebihan dari kekuatan yang dimiliki.

Dalam hal ini, bagaimana kekuatan yang menjadi andalan kaum-kaum intelektual terpelajar itu, menjadi cambuk bagi penyeleggaraan negara. Power ini pun jangan sampai disusupi gerakan tertentu yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingannya. Mereka seharusnya waspada terhadap fenomena semacam ini, mengingat perjalanan bangsa indonesia, fenomena itu sudah sangat nyata.

Paradoks Mahasiswa
Gerakan mahasiswa terjadi dilatar-belakangi atas dasar ketimpangan, ketidakadilan, kebohongan dan kejahatan yang terjadi dari kebijakan-kebijakan penyelengara negara yang melanggar aturan. Sebab menurut pengamat politik UI Arbi Sanit, lapangan politik Indonesia telah krisis moral, krisis nilai filosofis, krisis norma dan pelanggaran hukum.

Perlu ada suatu oase dalam padang pasir untuk menyegarkan dan membawa semangat baru orang yg berada didaerah itu. Itulah sebuah posisi mahasiswa.

Sejarah perpolitikan di Indonesia sering di ramaikan dengan aksi-aksi dan demonstrasi kaum intelektual yang membawa aspirasi rakyat. Ini menandakan kesadaran bersama yang muncul dari kawan-kawan mahasiswa untuk turun kejalan-jalan..

Namun ada dua sisi lain dari sikap mahasiswa yang menimbulkan stigma (pandangan) buruk dari masyarakat. Tawuran antara sesama dan aksi kekerasan yang terjadi saat melakukan aksi demonstrasi, inilah yang intens diperlihatkan oleh mahasiswa. Dua sisi inilah yang banyak menimbulkan kecaman dari publik. Rakyat menganggap apa yang dilakukan tidak pantas sebagai cerminan intelektual.

Anggapan ini kalau dilihat oleh secara objektif, memang ada benarnya juga. mahasiswa kerap mempertontonkon aksi yang secara tidak langsung menggangu ketentraman masyarakat.

Pada akhirnya apa yang dilakukannya sekalipun dalam hal yang baik, akan terdegradasi (menurunkan) perannya sendiri. Bahkan juga menghilangkan perannya dimata rakyat. Jika begitu, aksi mahasiswa yang nantinya sekalipun itu d benar, tidak akan di dukung oleh rakyat.

Memang dalam beberapa hari ini publik disuguhkan oleh aksi-aksi mahasiswa yang bentrok dengan aparat kepolisian dan sesama universitas. Ini jelas merupakan tindakan yang sangat kontras dengan hakikat sebagai intelektual kritis.

Tulisan ini sama sekali tidak menjustifikasi (membenarkan) bahwa apapun yang dilakukan mahasiswa itu salah, dan juga tidak mendukung tindakan mahasiswa sepenuhnya yang berujung pada aksi anarkisme. Tulisan mencoba memotret mahasiswa dari sudut pandang penulis, dan mencoba menghadirkan pandangan lain seputar gerakannya. Mengingat mahasiswa adalah elemen penting yang berharga.

Kritis, Idealis, Romantis
Dunia kampus adalah dunia pluralitas (keberagaman), yang menghadirkan bermacam pemikiran, gagasan, idealisme, prinsip, dan orientasi bagi manusia. Pencarian identitas mahasiswa tak lepas dari yang namanya dunia kampus.

Namun, ketika kampus yang cenderung ”mengekang” kebebasan berpikir, maka cenderung menghasilkan mahasiswa yang apatis terhadap berbagai persoalan kehidupan sosial. Biasanya ciri kampus seperti menekankan mahasiswa fokus terhadap pelajaran, tanpa mendorong untuk berpartisipasi, berpikir, atau melibatkan diri dalam realitas sosial.

Beda misalnya dengan kampus yang sama sekali membiarkan pluralitas dan kebebasan itu tumbuh, sekaligus mendukung dan merangsang etika berpikir mahasiswa. Sifat kampus yang seperti ini sebaliknya menghasilkan ”jebolan” didik yang berwatak Skeptis-Kritis dalam melihat berbagai persoalan bangsa. Tetapi, tanpa mengabaikan urusan perkuliahan.

Sejatinya, mahasiswa harus mempunyai ”titel” sebagai Intelektual Kritis, Idealis dan Romantis. Ini bukan satu slogan yang didengungkan, melainkan jiwa yang harus melekat pada setiap individunya..

Kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah yang berindikasi tidak pro rakyat, Idealis dengan memegang teguh prinsip sebagai intelektual independen yang teguh terhadap nilai-nilai perjuangannya, Romantis dengan rakyat., tidak meningalkan rakyat dalam setiap hakikat perjuangannya, dan menjaga hubungan baik dengan rakyat.

Seperti itulah sebaik-baiknya sikap.. Sekalipun mahasiswa dianggap hanya idealis ketika berada dibangku kuliah, dan meninggalkan idealismenya untuk seribu kemungkinan ketika telah memakai toga sarjana. Tetapi sekali lagi walaupun demikian, ada semacam sejarah yang ditulis dengan tinta emas di hati rakyat.

Kondisi ini secara sadar atau tidak, akan beregenerasi dalam dunia kemahasiswaan. Tentunya dengan dinamisasi dan tingkat fleksibel yang unik bagi masing-masing mahasiswa terkait persentuhannya terhadap realitas yang ada.

Dimensi Gerakan
Kembali memaknai tulisan dari Pramoedya Ananta Toer tentang orang terpelajar (Mahasiswa), bahwa kita mahasiswa mempunyai kekuatan yang sangat besar dan spektrum yang luas. Kekuatan ini harus dikerahkan sebenar-benarnya dalam manghadapi berbagi persoalan yang dihadapi.

Dan kita juga semestinya tidak buta terhadap dimensi gerakan yang niscaya. Dimensi gerakan yang dimaksud di sini adalah, orientasi perjuangan dari mahasiswa itu sendiri, yang berlandaskan etika demokrasi.

Dalam pengertian bahwa, mahasiswa sudah harus bepikir adil dalam hal akan melakukan suatu keputusan. Jangan sampai karena emosi yang berlebihan dan mengatas-namakan kepentingan rakyat, maka mereka bertindak diluar batasan dan pada akhirnya merugikan kepentingan bersama. Ini tentunya sangat prihatin.

Kekuatan ini seharusnya diarahkan sebagai kekuatan solutif-Konstruktif . Sebagai solusi persoalan dan alat untuk membangun kembali tatanan dan struktur yang menyalahi aturan ”simetris” (menyalahi aturan konstitusi). Perlunya juga merubah kembali Mindset (cara berpikir) kawan-kawan mahasiswa yang mulai bergeser kearah tempramental.

Tentunya jika mahasiswa telah faham tentang Dimensi gerakannya, maka kejadian mahasiswa yang sering bentrok antar kampus, plus dengan aparat kepolisian, bisa dihindari. Masyarakat juga semakin mengapresiasi setiap perjuagan yang dilakukan oleh mahasiswa. Sekali lagi...!! tentunya jika mahasiswa memahami dimensi gerakannya.

Referensi Penulisan
Budiman, sujatmiko. Melawan Dengan Gerakan. Kompas, 12/10/2008.
Hariman, Siregar. Dari Diskusi ke Advokasi. Tempo, 26/05/2007.
Pramoedya, Ananta. Bumi Manusia. Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar: